Etika Bisnis Dalam Islam Dan Relevansinya Bagi Aktivitas Bisnis Di Dunia Pendidikan Pesantren

kata9.comEtika Bisnis Dalam IslamBisnis merupakan suatu bidang kegiatan yang dilakukan manusia untuk memperoleh laba guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Keuntungan atau laba merupakan bagian penting, kalau tidak dikatakan sangat penting atau bahkan terpenting,  dalam berbisnis. Karena dengan adanya laba, kegiatan bisnis dapat bertahan dan berkembang. Hal ini mendorong para pelaku bisnis  untuk memaksimalkan perolehan laba. Upaya maksimalisasi laba semacam ini berpeluang memunculkan perilaku-perilaku bisnis yang tidak terpuji dan menimbulkan krisis moral yang dapat merugikan banyak pihak. Kondisi ini  meninggalkan citra buruk bagi bisnis yang kemudian menyadarkan kalangan tertentu mengenai perlunya bisnis memiliki aturan main di luar pakem bisnis itu sendiri. Di sini pintu masuk terbuka bagi etika untuk menjadi unsur penting dalam bisnis. Di sini pula etika memiliki posisi strategis untuk melakukan perubahan secara mendasar bagi citra bisnis.

Etika merupakan suatu cabang filsafat yang membicarakan teori ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk berkaitan dengan perilaku manusia, termasuk di dalamnya perilaku dalam berbisnis.  Persoalan baik dan buruk ini dapat dilihat secara obyektif maupun subyektif. Secara obyektif dikatakan bahwa nilai suatu tindakan itu terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Sedangkan pandangan yang subyektif  mengatakan bahwa nilai perbuatan itu ditentukan oleh pertimbangan subyek tertentu, baik individu, masyarakat, maupun agama.


Islam adalah agama yang sarat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur perilaku hidup manusia; baik dalam bidang sosial, politik, hukum, budaya, maupun ekonomi. Berdasarkan pada hal  ini dan merujuk pada pandangan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, diyakini bahwa agama ini memiliki prinsip-prinsip mengenai etika dalam bisnis. Karena itu tulisan ringkas ini akan berusaha membahas tentang etika bisnis dalam Islam dengan merujuk pada sekumpulan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam yang relevan dengan topik pembahasan ini. Selanjutnya, setelah hal ini dilakukan, akan diuraikan secara ringkas mengenai relevansi dan aplikasi etika tersebut dalam kegiatan bisnis di dunia pendidikan, khususnya di pesantren yang dalam hal ini akan disajikan kasus penyelenggaraan bisnis di Pondok Modern Darussalam Gontor.

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM

Istilah “etika” seringkali dipandang identik dengan istilah “moral” dan keduanya digunakan secara bergantian untuk merujuk kepada suatu maksud yang sama. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya, secara etimologis, keduanya memiliki arti yang sama, keduanya bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat-istiadat. Tetapi jika kita berusaha meletakkan garis pembeda antara keduanya, maka “moral” adalah kumpulan aturan-aturan atau sistem norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Berlakunya sistem norma-norma itu setelah ia melalui proses penetapan dan pengesahan bersama oleh masyarakat. Setelah ditetapkan dan disahkan, maka setiap orang berusaha menginternalisasikan norma-norma tersebut sehingga ia menjadi norma moral yang dilaksanakan secara sukarela untuk mengatur kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Di sini terlihat bahwa moralitas lebih terkait dengan tingkah laku konkrit dan moral lebih merupakan suatu produk jadi yang siap pakai yang cenderung menutup diri dari kajian kritis. Berbeda dengan moral atau moralitas, maka etika bekerja pada tataran teori dan ia merupakan suatu wilayah kajian keilmuan yang justru membahas mengenai moral itu sendiri. Etika mempersoalkan dan mengkaji secara kritis  dan sistematik rumusan-rumusan norma moral. Persoalan utama dalam wilayah etika adalah menemukan jawaban tentang apa dan mengapa suatu perbuatan itu dianggap benar atau salah, baik ataupun buruk.
Berbicara mengenai etika dalam perspektif Islam tidak dapat tidak kecuali harus merujuk kepada sumber utama agama ini, yaitu wahyu dalam kedua bentuknya: wahyu matluw  (al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (al-Sunnah). Dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam yang panjang terjadi perbedaan pendapat  antara berbagai paham mengenai batas penggunaan akal di hadapan wahyu. Tulisan singkat ini tidak bermaksud membahas mengenai persoalan hubungan antara akal dan wahyu dalam etika Islam serta tidak pula membicarakan tentang tipologi etika Islam. Pembahasan dalam tulisan ini akan lebih diarahkan pada pemaparan mengenai prinsip-prinsip etika Islam yang relevan dengan kegiatan ekonomi bisnis yang boleh jadi akan merujuk kepada suatu pola tertentu dalam hubungan  antara akal dan wahyu ataupun juga masuk dalam atau lebih cenderung kepada suatu kategori tertentu dari tipologi etika dalam Islam.
Dalam al-Qur’an dan Sunnah banyak ditemukan kata atau ungkapan yang terkait secara langsung dengan aktivitas bisnis, di antaranya untuk menyebut sebagai contoh adalah:  bai’, hirfah,  isytara, kail, kasb, mihnah, mudarabah, muzara’ah,  qardl, shina’ah, tijarah, dll  Ini menunjukkan perhatian Islam mengenai aspek kehidupan ini. Islam memberikan seperangkat nilai yang menjadi landasan bagi setiap usaha yang dilakukan oleh umatnya dalam menempuh kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan mengenai bisnis, sebagaimana akan diuraikan berikut ini.

1.   Prinsip `Ibadah
`Ibadah merupakan alasan terpenting dari penciptaan manusia di bumi ini (Q.S. 51:56). Secara mendasar `ibadah adalah pengabdian dan penghambaan diri dari seorang `abd  (hamba) kepada Sang Ma’bud (Allah SWT). Dalam pengertian ini `ibadah meliputi seluruh kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk di dalamnya adalah kegiatan-kegiatan “duniawi” sehari-hari, jika kegiatan tersebut dilakakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan pengahambaan diri kepada Allah SWT. Pengertian ini menunjukkan bahwa `ibadah bukanlah semata-mata praktek-praktek ritual formal keagamaan sebagaimana biasa disebut dengan istilah `ibadah mahdah. `Ibadah di sini ini mencakup suatu bidang kegiatan yang sangat luas dari seorang hamba yang dilakukan dengan niat mengabdi dan memperoleh rida Allah SWT. Tidak terkecuali di dalamnya kegiatan-kegiatan yang biasa disebut sebagai bersifat duniawi, semisal berbisnis.
Beribadah adalah suatu hal yang fitri bagi manusia; yaitu sesuatu yang secara inheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan alam kejadian asalnya sendiri. Ibadah merupakan simbol pengagungan seorang hamba kepada Penciptanya serta pernyataan penerimaan hamba itu akan tuntutan moral-Nya.  Melalui ibadah seorang hamba berharap bahwa Tuhannya  akan menolong dan membimbingnya menempuh jalan menuju kebenaran.
Dalam pancaran prinsip etika ini, suatu kegiatan bisnis dalam berbagai bentuknya hendaklah diniatkan tidak semata-mata untuk bisnis, tetapi untuk sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada sekadar bisnis itu sendiri. Yaitu untuk beribadah mencari rida Allah SWT.  Bisnis dalam pengertian ini tidak hanya berdimensi material, tetapi juga berdimensi spiritual dengan mengikuti tata cara dan norma-norma yang telah ditetapkan oleh syariat-Nya. Artinya bisnis itu diikatkan pada prinsip ilahiah dan pada tujuan ilahi.

2.   Prinsip Khilafah
Manusia adalah khalifah Allah di bumi yang ditugaskan untuk memelihara dan memakmurkan kehidupan di bumi (Q.S. 2:30, 38:26, 7:129, 24:55). Agar misi kekhalifahan ini dapat diemban secara efektif, manusia diberkahi dengan semua kelengkapan spritual dan mental, juga sumber-sumber material.  Manusia diberi kemampuan untuk mengubah dirinya, masyarakatnya, dan alam sekitarnya untuk mewujudkan kehendak Allah SWT. Demikian pula Allah SWT telah menjadikan manusia dan alam sekitarnya siap untuk menerima perlakuan dan pengelolaan oleh manusia.  Alam telah dijadikan mungkin untuk dibentuk, diolah, dan diubah sesuai dengan kehendak manusia (Q.S. 14:32-33, 16:12, 22:65, 31:20, 45:12-13).
Dalam mengemban tugas sebagai khalifah ini manusia bebas untuk berpikir dan menalar, bebas untuk memilih antara benar dan salah, baik dan buruk, serta bebas mengubah kondisi hidup, masyarakat, dan perjalanan sejarahnya.  Kebebasan ini penting karena manusia akan dimintai pertanggungjawaban untuk misi dan tugas yang diembannya itu.
Prinsip ini penting untuk diaplikasikan dalam bidang bisnis; sebuah bidang yang tak dapat dipungkiri merupakan salah satu aspek penting dari upaya untuk memelihara dan memakmurkan kehidupan di bumi. Menjalankan roda bisnis adalah juga berarti menjalan misi dan tugas kekhalifahan. Artinya bisnis itu tidak hanya berdimensi material fisikal, tetapi ia juga berdimensi moral spiritual. Pertanggungjawaban bisnis tidak hanya berhenti pada kehidupan dunia, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Berbisnis dengan didasarkan pada kesadaran etis semacam ini akan menghindarkan pelaku bisnis dari perilaku-perilaku yang menyimpang dan merugikan.

3.  Prinsip `Adalah
`Adalah bermakna keadilan. Untuk makna keadilan dengan  berbagai nuansanya al-Qur’an juga menggunakan istilah qisth, wasth, juga mizan. Tercatat tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda-beda dalam al-Qur’an yang memuat gagasan tentang keadilan; baik langsung maupun tidak langsung. Semua pengertian dari berbagai kata itu bertemu dalam suatu ide umum sekitar “sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur”.  Ciri pertengahan dan keseimbangan dalam Islam tercermin dalam pandangan Islam tentang keseimbangan antara dunia dan akhirat, iman dan amal, ibadah dan mu’amalah,  jasmani dan ruhani, akal dan hati, pikir dan zikir, individu dan masyarakat, dll.
Penerapan prinsip ini dalam bidang ekonomi dan bisnis dapat dilihat dari sikap pertengahan Islam terhadap individu dan masyarakat; tidak menganiaya masyarakat, terutama yang lemah, dan tidak pula menganiaya hak-hak dan kebebasan individu.  Tidak menolak dunia, tetapi tidak juga menjadikannya sebagai tujuan. Tidak membolehkan hidup bermewah-mewah, dan tidak pula menganjurkan hidup miskin. Tidak membolehkan sikap israf (berlebih-lebihan)  dan tabzhir (boros),  juga tidak memboleh sikap bukhl  (kikir) dan tamak kepada harta. Penerapan prinsip keadilan ini akan dapat menghapuskan berbagai kesenjangan dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

4.  Prinsip Shidq
Shidq  berarti jujur, lawannya adalah kidzb yang berarti bohong. Bersikap jujur itu berarti bersikap obyektif dan apa adanya. Imam Ghazali menyebutkan bahwa istilah shidq (jujur) digunakan dalam enam pengertian: jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur dalam kemauan dan tekad, jujur dalam memenuhi tekad, jujur dalam perbuatan, jujur dalam menjalankan ajaran-ajaran agama. Jujur ini merupakan nilai yang penting yang diajarkan oleh Islam dalam kaitannya dengan kegiatan bisnis. Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, pernah berjalan di pasar dan melihat seorang penjual gandum. Beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam gandum itu dan mendapati tangannya basah. “Wahai penjual (gandum), apa yang terjadi pada gandum ini?”, tanya Nabi SAW. Orang itu menjawab: “Gandum itu basah terkena hujan.” Nabi SAW bersabda: “Mengapa kamu tidak meletakkan gandum yang basah itu di bagian atas agar pembeli tahu? Orang yang menipu bukanlah golongan kami.”
Masih banyak lagi riwayat mengenai kejujuran ini. Di antaranya adalah: “…Seorang Islam itu tidak dibenarkan menjual suatu barang kepada orang lain jika barang itu ada cacatnya dan tidak memberitahukan cacatnya itu.” Diriwayatkan dalam hadis lain bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pembeli dan penjual mempunyai kebebasan untuk membatalkan urusan jual beli sehingga mereka bersepakat satu dengan lainnya. Jika mereka bersikap jujur dan benar, jual beli itu akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Jika mereka tidak berterus terang dan berbohong, maka kebaikan perjanjian jual beli tiu akan terhapus.”

5.  Prinsip Amanah
Amanah  berarti dapat dipercaya. Prinsip ini terkait erat dan melengkapi prinsip shidq yang dijelaskan sebelumnya. Amanah merupakan norma moral Islam yang berhubungan dengan bidang-bidang yang luas, mulai soal-soal pemerintahan dan kepemimpinan sampai pada pengelolaan harta agama dan  soal utang-piutang (Q.S. 33:72, 4:85, 8:27, 23:8, 7:32). Lebih lanjut, amanah  merupakan dasar bagi ketahanan masyarakat, kestabilan negara, kekuasaan dan kehormatan. Dalam bidang ekonomi, amanah berarti mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya baik sedikit maupun banyak, tidak mengambil lebih banyak dari yang ia miliki, dan tidak mengurangi hak orang lain baik berupa hasil penjualan, fee, jasa, ataupun upah.

6.  Prinsip Ihsan
Secara harfiyah ihsan berarti kebaikan (Q.S. 16:90, 55:60, 2:84, 2:178, 2:229, 4:62: 9:100, 46:15) . Dalam makna luas ihsan mencakup tingkah laku yang baik, jujur, bersikap simpati, bekerjasama, pendekatan yang beperikemanusiaan dan ikhlas, mementingkan orang lain, menjaga hak orang lain, memberikan sesuatu kepada orang lain walaupun melebihi yang sepatutnya diterima oleh seseorang itu dan berpuas hati dengan sesuatu walaupun nilainya kurang dari yang semestinya. Dengan pengertian ini ihsan dapat dipandang melebihi `adl. Jika keadilan dianggap sebagai dasar dari kehidupan bermasyarakat, maka ihsan adalah keindahan dan pelengkapnya. Jika keadilan dapat menyelamatkan masyarakat dari gejala yang tidak sehat dan kejahatan, ihsan akan menjadikan kehidupan manusia lebih mesra dan harmoni. Dalam hal berusaha, ihsan tidak hanya memerintahkan untuk bekerja, tetapi memerintahkan bekerja dengan lebih baik, lebih tekun, dan lebih sungguh-sungguh, serta lebih inovatif. Prinsip ihsan ini memiliki dimensi sosial yang sangat kental. Suatu kegiatan bisnis yang dijalankan dengan prinsip ini akan menghasilkan pelayanan atau pertolongan yang mengatasi kepentingan diri sendiri. Prinsip ini juga akan mendorong pelaku bisnis untuk bekerjasam dengan pihak lain untuk kebaikan masyarakat dan dalam masa yang sama ia juga dapat menikmati keuntungannya.

7.  Prinsip Ta`awun
Prinsip ta`awun ini berarti kerjasama saling tolong menolong, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk saling membantu dan bahu membahu dalam suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Ta`awun merupakan prinsip moral yang diperintahkan dalam Islam. Tentu saja yang diperintahkan di sini adalah ta`awun dalam kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam melakukan perbuatan dosa dan perbuatan yang melampui batas (Q.S. 5:2). Kerjasama yang dilakukan dalam bidang bisnis juga harus mengacu kepada kerjasama untuk mewujudkan kebajikan dan ketakwaan, bukan yang sebaliknya.

Demikianlah pemaparan beberapa prinsip moral dan etis Islam yang relevan dengan dunia bisnis. Penerapan prinsip-prinsip moral yang komprehensif yang tidak hanya terbatas pada aspek materi, tetapi juga mencakup wilayah spiritual tersebut, memungkin pelaku bisnis untuk menghindarkan diri dari praktek-praktek bisnis yang tidak terpuji yang dapat merugikan pihak lain.

C. APLIKASI ETIKA BISNIS ISLAM DALAM PENYELENGGARAAN USAHA-USAHA EKONOMI DI PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR: PERSPEKTIF PANCA JIWA

Secara umum pesantren atau pondok bisa didefinisikan sebagai “lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai sentral figurnya dan masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya.” Definisi ini menunjukkan bahwa inti dari dunia pesantren adalah pendidikannya. Pendidikan di dunia pesantren yang berlangsung 24 jam dengan sistem asrama semacam itu tentu saja mencakup suatu bidang yang sangat luas, tidak terbatas pada pendidikan intelektual saja, tetapi juga meliputi aspek-aspek spiritual, moral-emosional, sosial, dan termasuk juga aspek pendidikan fisik.
Pondok Modern Darussalam Gontor, atau lebih populer disebut Pondok Gontor, adalah salah satu dari sekian banyak pondok yang terdapat di negeri ini. Pondok Gontor didirikan pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 1345/20 September 1926 oleh tiga bersaudara yang dikenal dengan sebutan “Trimurti”, mereka adalah K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi. Saat ini dipimpin oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A., K.H. Hasan Abdullah Sahal, dan K.H. Drs. Imam Badri. Sejak tahun 2002 Pondok Gontor telah memiliki 7 cabang yang berlokasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan di Sulawesi Tenggara.
Pondok Modern Gontor memberikan perhatian yang serius terhadap berbagai upaya mandiri untuk mencukupi segala sarana dan prasarana serta berbagai kebutuhan lain demi berlangsungnya proses pendidikan dan pengajaran di dalamnya. Usaha-usaha ini kemudian dilembagakan menjadi sebuah yayasan pada tanggal 18 Maret 1959 dengan nama Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern  (YPPWPM).
Upaya mewujudkan jiwa mandiri itu dilakukan dengan membuka berbagai unit-unit usaha; baik yang ditangani oleh santri-santri yunior yang tergabung dalam Koperasi Pelajar OPPM dan  Gerakan Pramuka, maupun  yang ditangani oleh santri senior (guru) yang tergabung dalam Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) dengan nama “Koperasi La-Tansa Pondok Modern Gontor”.
Berikut ini adalah unit-unit usaha yang dikelola oleh para guru menurut tahun berdirinya:

No Jenis Usaha Berdiri Th. Lokasi
1 Penggilingan Padi 1970 Gontor
2 Percetakan Darussalam 1983 Gontor
3 Usaha Kesejahteraan Keluarga (UKK) 1986 Gontor
4 Toko Bahan Bangunan 1988 Bajang
5 Toko Buku 1989 Ponorogo
6 Toserba mini 1997 Ponorogo
7 Toko Palen I 1990 Ponorogo
8 Toko Palen II 1994 Bajang
9 Kedai Bakso I 1990 Ponorogo
10 Kedai Bakso II 1997 Ponorogo
11 Photo Copy dan Alat Tulis I 1990 Bajang
12 Apotik 1991 Ponorogo
13 Wartel  I 1991 Gontor
14 Wartel  II 1999 Gontor
15 Pabrik Es Balok 1996 Gontor
16 Pusat Perkulakan 1997 Gontor
17 Jasa Angkutan 1998 Gontor
18 Pasar Sayur 1998 Gontor
19 Kredit Usaha Tani 1998 Ponorogo
20 Budidaya Ayam Potong 1999 Siman
21 Photo Copy dan Alat Tulis II 1999 Gontor
Sedangkan unit usaha atau koperasi yang di dikelola oleh siswa yang tergabung dalam Organisasi Pelajar Pondok Modern  (OPPM) dan Gerakan Pramuka Pondok Modern Gontor, antara lain: 1) Koperasi Pelajar, 2) Koperasi Warung Pelajar, 3) Fastfood, 4) Kantin/Kafetaria, 5) Kafe, 6) Koperasi Dapur, 7) Toko obat-obatan, 8) Kedai Potokopi, 9) Kedai Potografi, 10) Kedai Perlengkapan Pramuka dan benda-benda pos, dan 11) Kedai Binatu.
Di samping unit-unit usaha ini, Pondok juga mendirikan usaha sosial berupa Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat dan Wisma Darussalam, yang terakhir ini menyediakan sarana untuk diklat dan penginapan. Usaha-usaha lain yang dilakukan pondok adalah pertanian dan perkebnunan di tanah-tanah milik Pondok.
Keberadaan berbagai unit usaha ini di atas segalanya adalah merupakan salah satu sarana untuk mendidik santri. Ini sejalan dengan falsafah pendidikan di Pondok ini yang berbunyi: “segala yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami santri adalah untuk pendidikan”. Pendidikan merupakan alasan utama diselenggarakannya berbagai usaha di bidang ekonomi. Hal ini dapat dipahami dari dua sisi: pertama pendirian berbagai unit usaha itu dilakukan untuk mendidikkan ajaran dan nilai-nilai Pondok kepada para santri; kedua  usaha-usaha ini merupakan upaya untuk menjaga kelangsungan proses pendidikan dan pengajaran di Pondok dengan menyediakan sumber dana secara mandiri.
Dengan demikian perilaku para pelaku bisnis di Pondok Gontor didasari oleh jiwa, nilai, falsafah, dan moto pendidikan dan pengajarannya yang bersumber pada ajaran-ajaran Islam dan nilai-nilai keindonesiaan yang dipadukan secara sedemikian rupa.yang memungkinkannya untuk diaplikasikan dalam penyelenggaraan kegiatan bisnis di Pondok ini. Berikut akan dijelaskan secara singkat beberapa prinsip moral bisnis di Pondok Modern Gontor dengan menggunakan perspektif Panca Jiwa Pondok, yaitu lima jiwa yang  mendasari seluruh kehidupan di Pondok, termasuk kehidupan dalam bidang ekonomi. Panca Jiwa tersebut adalah  keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah Islamiyah, dan jiwa bebas.


1.  Keikhlasan
Ikhlas berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu. Pekerjaan-pekerjaan dilakukan dengan niat semata-mata ibadah, lillah. Kyai dan para guru ikhlas dalam mendidik, santri ikhlas dididik dan mendidik diri sendiri.  Dalam kaitannya dengan mengurus, mengelola, dan mengembangkan unit-unit usaha, para guru dan santri melakukannya bukan dengan niat memperoleh keuntungan pribadi, tetapi itu dilakukan dengan suatu niat yang lebih mulia, yakni  untuk  memperjuangkan kelangsungan hidup Pondok sebagai lembaga penyelenggara pendidikan dan pengajaran. Para pelaku bisnis yang terdiri dari para siswa tidak menerima gaji sama sekali, sedangkan para pengolal unit usaha yang terdiri dari para guru tidak memperoleh imbalan berdasarkan posisi mereka dalam struktur keorganisasian bisnis yang ada. Para pelaku bisnis yang terdiri dari para guru itu memperoleh imbalan yang disebut “ihsan.” Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa ihsan, di samping berarti memberikan sesuatu kepada orang lain walaupun melebihi yang sepatutnya diterima oleh seseorang itu, ia juga berarti berpuas hati dengan sesuatu walaupun nilainya kurang dari yang semestinya. Para pelaku bisnis yung terdiri dari para guru itu menyadari betul tentang makna dari pekerjaan yang mereka lakukan, bahwa perilaku bisnis itu bukanlah bersifat material duniawi semata, tetapi lebih dari itu ia berdimensi spiritual ukhrawi. Dalam pancaran jiwa keikhlasan ini timbul kesadaran mengenai prinsip-prinsip bahwa:
a. Pondok adalah lapangan perjuangan, bukan tempat mencari penghidupan.
b. Berjasalah tetapi jangan minta jasa.
c. Perjuangan itu memerlukan pengorbanan: bondo, bahu, pikir, lek perlu sak nyawane.
d. Hidupilah Pondok tetapi jangan menggantungkan hidup kepada Pondok.
e. Kemaslahatan Pondok di atas kemaslahatan pribadi
f. Pondok perlu dibantu, dibela, dan diperjuangkan

2.   Kesederhanaan
Kehidupan di dalam pondok diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam kesederhanaan itu terdapat nilai-nilai kewajaran, keseimbangan, kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju, dan pantang mundur dalam segala keadaan.
Relevansinya dengan pengelolaan bisnis di lembaga pendidikan ini adalah bahwa perilaku bisnis dijalankan secara wajar dan seimbang, kewajaran dan keseimbangan antara produksi dan konsumsi, kewajaran dan keseimbangan antara suplay  dan demand, kewajaran dan keseimbangan antara daya jual dengan daya beli masyarakat konsumen setempat. Para santri dan guru hidup dalam suasana kesederhanaan, sederhana dalam makan, minum, berpakaian, dan bertingkah laku. Tidak hidup mewah, tetapi juga tidak kekurangan. Para guru yang berkeluarga pun hidup dalam standar kesederhanaan, kewajaran, dan kepantasan dengan lingkungan sosialnya.

3.   Kemandirian
Kemandirian ini berarti kesanggupan menolong diri sendiri. Hal  ini tidak saja dalam arti bahwa Pondok mendidik santri untuk sanggup mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri—sebagai lembaga pendidikan—juga  harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidupnya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain.
Dalam kaitannya dengan perilaku bisnis, prinsip kemandirian ini tidak berarti mengisolasi diri dari dunia bisnis di luar pesantren, karena jelas hal itu tidak mungkin dan akan merugikan. Kemandirian berarti tidak bergantung kepada (bukan tidak bekerjasama dengan) pihak lain dalam penyedian modal, tenaga kerja,  dan barang, serta dalam mencari pasar. Kebergantungan kepada pihak lain akan berakibat hilangnya kemandirian dan membuka peluang intervensi yang dapat memaksakan kemauan.

4.   Ukhuwwah Islamiyah
Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang rukun dan akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan persaudaraan keagamaan.  Ukhuwwah ini bukan saja selama mereka di dalam Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan umat dalam masyarakat sepulang para santri itu dari Pondok.
Ukhuwwah Islamiyah ini merupakan modal penting bagi para pelaku bisnis, karena ia menjadi dasar dari upaya kerjasama yang diperlakukan dalam menjalankan roda bisnis. Sebagaimana disinggung di atas, bahwa pelaku bisnis tidak bisa mengisolasi diri, kecuali dia tidak menghendaki kemajuan untuk usahanya itu. Di Gontor, unit-unit usaha yang ada melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk berbagai kepentingan misalnya dalam produksi dan penyediaan barang dan dalam manajemen.

5.   Kebebasan
Kebebasan ini berarti bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar. Tentu saja kebebasan ini adalah bebas di dalam garis-garis disiplin yang positif, dengan penuh tanggungjawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat.
Kebebasan dalam perilaku bisnis di Pondok ini tercermin antara lain pada kebebasan dalam memproduksi dan menyediakan barang, kebebasan dalam menentukan harga, kebebasan dalam mencari pasar, dan kebebasan dalam melakukan perjanjian.

D. PENUTUP
Sebelum mengakhir tulisan singkat ini perlu disampaikan bahwa Pendirian aneka usaha dan koperasi, yang berada di lingkungan masyarakat, ini juga merupakan upaya peran aktif Pondok yang kongkrit dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi.
Demikianlah dan semoga bermanfaat. Wallahu a`lam bi al-shawab.
BACAAN:

Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Chapra, M. Umar. Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer. Nur Hadi Ihsan dan Rifqi Amar (penerjemah). Surabaya: Risalah Gusti, 1999

Al-Faruqi, Ismail Raji. Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Herndon Virginia: IIIT, 1982.

Al-Ghazali, al-Imam. Ihya’ Ulumuddin. Badawi Thabanah (ed.) Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyah,

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kamanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.

Majid, Fakhry. Etika dalam Islam. Zakiyuddin Baidhawy (penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pusat Studi Islam UMS, 1996.

Muhammad dan Lukman Fauroni. Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.

Rahardjo, M. Dawam. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Rahman, Budhy Munawar (editor). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

Siddiq, M. Nejatullah. Perusahaan Ekonomi dalam Islam. Md. Sharit Bharuddin dan Akibah Abu Hassan (penerjemah). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988.

Subscribe to receive free email updates: